by

Pameran Seni Rupa Digelar di Kupang, Libatkan Museum Basoeki Abdullah

KUPANG – Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) melalui Taman Budaya Gerson Poyk NTT akan menghelat pameran seni rupa bertajuk kuratorial \”Taste-timony\” di Museum Negeri NTT, Kupang, pada  27 – 30 Agustus 2019 mendatang.

Kegiatan ini atas kerjasama Pemerintah Provinsi NTT dan Museum Basoeki Abdullah Jakarta dengan menampilkan puluhan karya seni rupa, terutama lukisan, dari para perupa NTT serta menampilkan empat lukisan karya maestro Basoeki Abdullah.

\”Ini menjadi bagian dari Pameran Bersama Sejarah, Seni, dan Budaya Masa Lampau dan Masa Kini. Pameran kolaboratif ini melibatkan pihak Taman Budaya Gerson Poyk, Museum Basoeki Abdullah, Museum Negeri NTT, dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Kurator Kuss Indarto dari Yogyakarta kami libatkan pameran ini,\” kata Kabid Kebudayaan Dinas Dikbud NTT, Dra. Lodia Fina di Kupang ketika dikonfirmasi mediakitantt.com, Minggu (18/8/2019) petang.

Dia merincikan, perupa NTT yang berpartisipasi dalam pameran ini masingseperti,  Aim Pranamantara, Alan Lakapu, Alexander Dimu,Apri Manu,  Christian Dan Dadi, Emmanuela Rebo, Ever Lomi Rihi, Fecky Mesakh, Ferry Wabang,  George Eman, Jacky Oyang,  Luiz Wilson, Maryam Mukin, Mashoned Ubed, Nelson Riberu, Oby Tukan, Perry Maiaweng, Reinhard Aris Umbu Bala, Rosa Gaga, Yance Mamesah dan Yoppie Liliweri.

Lodia juga menjelaskan, tema pameran \”Taste-timony\” secara etimologis adalah gabungan dari dua kata, \”taste\” (artinya selera, cita rasa), dan \”testimony\” (artinya kesaksian). Tema ini secara umum membincangkan pandangan umum masing-masing seniman atas realitas yang telah, sedang, dan akan terjadi di sekitar diri seniman. Dalam teori kuno tentang seni antara lain menyebut bahwa seni itu meniru alam, \”ars imitatur naturam\”. Teori ini mengisyaratkan bahwa seniman dibayangkan atau diharapkan bisa menjadi salah satu agen untuk melihat dan mengabadikan segala sesuatu yang ada dalam semua perikehidupan manusia, mulai dari yang sehari-hari atau pun yang secara berkala terjadi.

Proses meniru alam atau \”imitatur naturam\” ini lambat laun menemukan dinamikanya. Seniman ada yang konsisten meniru dan mengabadikan semua yang ada di alam dengan apa adanya. Cuplikan keindahan mungkin menjadi ketertarikan yang paling dominan bagi sebagian seniman. Ada juga seniman yang mencoba mengulik personalitas dirinya, maka yang muncul karya-karya potret diri–sebagai contoh–yang merepresentasikan sebagai potret sosial di lingkungannya. Namun ada pula seniman yang mulai bersikap, membuat opini terhadap segala sesuatu yang timpang. Maka kemudian ada seniman yang membuat karya dengan mengetengahkan hal-hal kritis yang mengkritik tentang ketimpangan sosial, politik, dan lain-lain.

“Tentu masih banyak seniman yang mengambil berbagai kemungkinan pilahan proses kreatif. Kita tidak bisa menilai secara hierarkhis bahwa seni rupa yang menampilkan keindahan adalah seni yang lebih rendah nilainya ketimbang karya seni yang memberi nilai kritik sosial. Semuanya punya tempat sendiri-sendiri, semuanya punya derajat dan masyarakat penonton hingga pangsa pasar masing-masing,” sambung Lodia.

Dia juga menambahkan pameran seni rupa ini memiliki sasaran untuk memaparkan pandangan mata dan sikap berkesenian para seniman NTT dalam menyikapi berbagai hal di sekitarnya. Artifak karya seni yang dipamerkan adalah rentetan kesaksian seniman, sekaligus cermin sikap masyarakat NTT dalam merespons berbagai persoalan sosial, politik, ekonomi, budaya dan sebagainya–dari perspektif seni budaya. Kita tidak bisa lagi memandang secara tunggal bahwa ini sekadar sebagai karya seni rupa, namun juga dimungkinlan sebagai karya artifak dan dokumen sosial yang penting maknanya bagi catatan sejarah kedepan.

“Dalam konteks ini, gagasan tentang karya seni rupa sebagai salah satu perangkat untuk memberi kesaksian menemukan titik relevansinya ketika mengetengahkan karya yang memiliki bobot nilai narasi sejarah. Karena setelah melewati alur waktu, narasi sejarah terbentuk, dan artifak karya seni sebagai bentuk kesaksian menjadi lebih memiliki bobot. Maka, ketika pameran ini menyandingkan juga karya-karya old master Basoeki Abdoellah, nilai dan bobot kesaksian atas sejarah menemukan koherensinya.” Pungkasnya.

Kabid Kebudayaan juga mengisahkan, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Basoeki Abdoellah telah mengisi salah satu ruang penting sejarah seni rupa modern Indonesia. Meski pada kurun waktu dan fase kreatif tertentu karyanya dikategorikan oleh seniman old mater lain, S. Sudjojono sebagai karya yang bernafaskan \”mooi Indie\” (Hindia yang molek) yang turistik dan kurang memiliki sensibilitas pada kondisi sosial politik di sekitarnya, namun asumsi tersebut tidak sepenuhnya benar. Dalam perspektif tertentu, karya-karya Basoeki bisa menjadi tengara atas gejala perkembangan sosial tertentu–tentu dengan perspektif yang berbeda dengan gaya, corak, dan cita rasa seni yang khas pada karya Sudjojono dan kelompoknya. Basoeki senantiasa mengamati dan mengalih-ubah objek karyanya sebagai subjek yang penuh eksotisme secara visual.

“Ada sekian banyak karya Basoeki yang monumental, menyejarah, dan masih diingat publik hingga kini–jauh melampaui zaman ketika karya tersebut dibuat,” tutur Lodia.

Sementara itu, menurut salah satu penanggungjawab pameran, Mohadi, ketika dikonfirmasi ia berharap pameran ini mampu memicu gairah kreatif para seniman di kawasan Nusa Tenggara Timur. Juga bisa menambah perbendaharaan pengetahuan dan apresiasi seni pada masyarakat di Kupang khususnya, dan NTT pada umumnya. *(Tim/ Kus Indarto).

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *