MediaKitaNews.com – Membaca wacana yang dimunculkan di media beberapa hari belakangan oleh beberapa kalangan tentang kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi dalam kontestasi politik, lebih khususnya Pilpres 2024 mendatang.
Berbagai macam isu terus digulirkan, berawal dari perpanjangan masa jabatan, penambahan periodisasi jabatan Presiden, hingga terkini kemungkinan Presiden Jokowi maju sebagai kendidat wakil Presiden mendampingi Calon Presiden yang diusung oleh partai politik maupun gabungan partai politik.
Untuk mengukur daya serap dan dukungan dari masyarakat akan berbagai wacana itu, beberapa lembaga survey nasional melakukan penelitian dan poling, hasilnya memang selalu ada pro dan kontra, tergantung cara pandang, wawasan dan juga kepentingan-kepentingan politik yang serba subyektif.
Namun, Semua isu, wacana dan narasi-narasi yang dimunculkan selalu dan harus berdasarkan rule of law. Demokrasi kita adalah Demokrasi yang berlandaskan Hukum, Demokrasi yang berdiri diatas jaminan akan hak dan kewajiban antara masyarakat, pemerintah dan juga negara sebagai sebuah konstruksi Hukum.
Baca Juga : Buruan!!! Daftar Beasiswa Pendidikan Kemendikbudristek
Maka tidak heran jika banyak isu yang dimunculkan selalu mental jika dikonfrontir dengan rules yang menjadi aturan main.
Persoalan Hukum sering kali diabaikan akibat dari kencangnya isu politik oleh beberapa tokoh penting partai, pendukung maupun oleh beberapa pengamat politik. Hasilnya mendapatkan penolakan-penolakan baik oleh unsur partai maupun secara konstitusional.
KONSTITUSI INDONESIA MELARANG JOKOWI JADI WAKIL PRESIDEN
Jika beberapa wacana sebelumnya bertentangan dengan konstitusi UUD NRI 1945 secara Eksplisit, Yakni diantaranya masa jabatan Presiden diperpanjang dan penambahan periodisasi jabatan Presiden, yang dinilai hampir tidak mungkin terjadi. Kalaupun bisa, sangat kecil kemungkinan itu bisa terjadi.
Kondisi yang berbeda muncul ketika ada wacana tentang pencalonan Jokowi yang saat ini sebagai presiden menjadi wakil Presiden di Pilpres 2024, wacana ini secara konstitusional menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda, ada yang menilai bertentangan dan ada juga yang menyatakan sah secara konstitusi.
Dalam Pasal 7 UUD 1945 menyatakan secara terang bahwa:
“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”
Hal ini menandakan bahwa konstitusi secara tersirat dan implisit tidak membolehkan Presiden untuk bisa mencalonkan diri sebagai wakil presiden karena bertentangan dengan pasal Pasal 8 (1) berbunyi:
“Jika presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh wapres sampai habis masa jabatannya”
Dari ketentuan kedua pasal tesebut memiliki muatan norma yang saling berkaitan. Jika Jokowi dipaksakan masuk sebagai Cawapres, Maka akan terjadi pertentangan antara isi kedua pasal tersebut.
Dalam ketentuan pasal-pasal tersebut dapat memiliki makna sebagai berikut:
1. Presiden dan Wakil Presiden hanya boleh menjabat dua kali sebagai presiden, baik itu berturut-turut maupun tidak berturut-turut.
2. Wakil Presiden masih bisa mencalonkan diri sebagai Presiden
3. Presiden tidak bisa lagi mencalonkan diri sebagai wakil Presiden, karena jikalau menjadi wakil Presiden maka bertentangan dengan ketentuan pasal 8A, yang secara normatif yakni dalam keadaan Presiden tidak mampu menjalankan tugas, maka wakil Presiden menggantikan.
Baca Juga : Siap-siap!! perekrutan Panitia Pengawas Pemilu Kecamatan akan segera di buka.
Frasa menggantikan inilah yang bertentangan dengan semangat dalam pasal 7 UUD NRI 1945 karena secara otomatis Wakil Presiden yang sebelumnya jadi Presiden akan kembali menjadi Presiden untuk ke tiga kali.
ETIKA POLITIK DAN ANOMALI KONVENSI KETATANEGARAAN
Jika kemungkinan pasal tersebut ditafsirkan lain oleh Mahkamah Konstitusi, dan diperbolehkan oleh MK, maka masalah lain bisa saja terjadi yakin persoalan etika politik dan juga kebiasaan ketatanegaraan.
Indonesia dalam sistem pemerintahan menganut sistem Presidensial, artinya bahwa kekuasaan yang penuh dan tertinggi ada pada Presiden, bukan pada wakil Presiden. Karena secara Konstitusi tugas wakil Presiden adalah membantu seorang Presiden dalam melaksanakan tugasnya. Nyaris tidak ada ketentuan yang secara khusus mengatur tugas, fungsi dan wewenang seorang wakil Presiden.
Dalam kondisi saat ini, Jokowi sudah mencapai batasan tertinggi kekuasaan negara yakni dua periode sebagai Presiden. Maka akan menjadi aneh jika Jokowi terpancing menjadi wakil presiden, secara etika politik dan marwah tentu mengalami degradasi yang besar.
Kemudian secara konvensional ketatanegaraan, belum pernah ada dalam sistem ketatanegaraan, baik itu di negara-negara Barat yang merupakan induk Demokrasi dan sistem Presidensial. Jika terjadi di Indonesia maka ini adalah sebuah anomali yang luar biasa dan malah menjadi preseden buruk praktik ketatanegaraan Dunia.
Karena jika semakin panjang kekuasaan, semakin besar pula terjadi abuse of power dan kekuasaan yang tiran dan otoriter.
Maka itu, sebaiknya Jokowi mengambil sikap yang mencerminkan diri sebagai seorang Negarawan, dengan menjadi tokoh yang berprinsip Pancasila dan berkarakter Nasionalis.***
____________
Ditulis oleh Afrianus Ada, S.H.
Aktivis dan Pengamat Hukum.
Comment