MediaKitaNews – Seorang anggota TNI aktif menjadi korban pengeroyokan brutal di Terminal Arjosari, Malang, pada Kamis malam (26/6/2025). Peristiwa ini menyulut kemarahan publik setelah anak korban mengungkap bahwa sang ayah hanya berniat menegur juru penumpang (jupang) yang diduga melakukan pungutan liar terhadap kru bus.
Menurut keterangan anak korban, niat baik sang ayah justru berujung pada tindakan kekerasan.
“Ayah saya cuma nasihatin orang jupang jangan malak ke bis. Kan yang di bis juga kerja nyari uang. Tapi pelaku nggak terima, bawa temen sama saudaranya. Wajah Ayah saya sampai digesek ke aspal, diinjak-injak, barangnya juga ada yang hilang,” ujar anak korban dikutip dari Instagram @fakta.indo, Selasa (1/7/2025).
Kepala Terminal Arjosari, Mega Perwira Donowati, membenarkan kejadian tersebut dan menyebut tiga pelaku telah diamankan.
“Korban dikeroyok lima sampai enam orang. Beberapa kru bus sempat mencoba melerai, tapi pelaku terlalu beringas,” jelas Mega.
Insiden ini memantik reaksi keras dari publik di media sosial. Di akun Instagram @fakta.indo, warganet mengecam keras aksi kekerasan ini dan menuntut tindakan tegas terhadap para pelaku.
“Waduh. Percayalah video tadi adalah video terakhir wajah mereka mulus dan badan mereka masih mulus. Cukup YTTA. Kamu lebih bersyukur ditangkap polisi daripada berkasus sama tentara,” tulis akun @b****kusmie.
“TNI AJA DIGITUIN APALAGI MASYARAKAT BIASA?!” komentar akun @a****ss.
“Dikira masuk sel kantor polisi bakalan aman, ntar juga disamperin TNI sekompi 😂,” tulis @her****ter1408.
Banyak netizen juga menyoroti kondisi terminal yang kerap dijadikan ladang aksi premanisme. Akun @hu****ug bahkan berbagi pengalaman pribadi:
“Terminal-terminal memang harus dibersihkan dari premanisme. Gimana orang mau pake angkutan umum kalau tempatnya tidak memberikan rasa aman. Saya dulu juga pernah diancam gara-gara masalah tiket.”
Saat ini, korban telah sadar dan dirawat, sementara pihak berwenang terus mendalami kasus tersebut. TNI sendiri belum memberikan pernyataan resmi, namun publik berharap kasus ini bisa menjadi momentum untuk bersih-bersih praktik kekerasan dan pemalakan di area transportasi publik.***