Mediakitanews.com. Tepat satu tahun lalu, 14 Desember 2024, saya berdiri di antara banyak orang yang tersenyum bangga. Saya diwisuda S2 di salah satu universitas di Banten. Saya memilih tidak menyebutkan namanya. Bukan karena tidak bangga, tetapi karena saya tahu, di balik toga dan gelar itu, tidak semua murid benar-benar dikenal sebagai murid. Tidak semua mahasiswa benar-benar dianggap sebagai anak didik. Dari sekian banyak dosen yang saya temui sejak S1 hingga S2, hanya segelintir yang benar-benar peduli, yang benar-benar melihat saya sebagai manusia yang sedang tumbuh, bukan sekadar nomor induk mahasiswa.
Hari ini, genap satu tahun saya menjalani hidup tanpa bimbingan guru di kampus. Tidak ada lagi jadwal bimbingan, tidak ada lagi ruang dosen untuk mengetuk pintu, tidak ada lagi kalimat “silakan duduk” dari orang-orang yang dulu menjadi rujukan hidup intelektual saya. Yang ada hanyalah kenyataan, saya harus melanjutkan hidup.
Saya memilih tinggal di Kota Serang. Bukan karena hidup di kota itu mudah, tetapi karena perjuangan menuntut saya untuk terus berjalan. Mengingat saya adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Sejak satu tahun terakhir, tanggung jawab itu terasa semakin nyata, menjadi tulang punggung keluarga, menjadi harapan orang tua agar kedua adik saya bisa kembali melanjutkan cita-citanya. Di tengah hidup yang tidak pasti, dengan status “lulusan S2” namun belum memiliki pekerjaan tetap, saya belajar satu hal penting, gelar tidak selalu membuat hidup menjadi terang.
Namun, di tengah kegelapan itulah saya merasakan kehadiran cahaya yang tidak saya duga.
Ketika saya tidak lagi dibimbing oleh dosen, Tuhan mempertemukan saya dengan para senior, yang sekaligus menjadi guru kehidupan. Mereka memperlakukan saya bukan sebagai bawahan, bukan sebagai junior, tetapi sebagai keluarga. Mereka peduli apakah saya sudah makan, apakah saya punya rokok apa tidak, apakah saya bisa hidup disiplin, apakah saya sudah cukup mandiri untuk bertahan. Hal-hal kecil yang mungkin dianggap sepele, tetapi bagi saya, itulah bentuk cinta yang paling nyata.
Nama-nama itu akan selalu saya sebut dalam doa dan ingatan, bapak Aas Satibi, Dr. Elly Nurlia, Dhona El Furqon, Asep Rohmatulloh, dan banyak lagi yang tidak bisa saya tuliskan satu per satu. Dari merekalah saya belajar bahwa perjuangan hanya bisa dilalui oleh orang-orang yang tidak gampang menyerah. Mereka menguatkan saya bukan dengan janji, tetapi dengan keteladanan.
Saya juga dipertemukan dengan orang-orang dari luar daerah saya, Ahmad Syafaat, Faiz Romzi, Revi Setiawan, Saepudin, dan lainnya. Mereka adalah keluarga baru saya. Kami sama-sama berjuang, sama-sama tidak sempurna, tetapi saling peduli dan saling menguatkan. Dari mereka, saya belajar bahwa keluarga tidak selalu lahir dari darah dan daerah asal, tetapi dari kepedulian.
Saya juga percaya, semua pertemuan ini bukan kebetulan. Saya meyakini sepenuh hati, inilah hakikat dari doa kedua orang tua saya. Doa yang mungkin diucapkan diam-diam di sepertiga malam, doa yang mungkin dibaca dengan air mata, doa yang tidak pernah saya dengar, tetapi nyata saya rasakan hasilnya.
Hari ini, bahkan sampai detik ini, saya belum memiliki tempat tinggal yang benar-benar menetap. Kadang saya menumpang di kosan Rifki, kadang di saung Haji Aceng, kadang di kosan Indra (keluarga Matadewa), dan di tempat-tempat lain yang memberi saya ruang untuk sekadar bertahan. Hidup saya memang belum mapan, tetapi saya tidak pernah merasa sendirian dan mereka hadir dengan menerima kekurangan itu.
Tekad saya, sekecil apa pun kebaikan yang pernah mereka berikan, saya tidak akan pernah melupakannya. Bagi saya, haram hukumnya membangkang kepada orang-orang yang telah menguatkan saya saat saya hampir rapuh.
Satu tahun lulus S2 tanpa pekerjaan tetap memang tidak mudah. Ada rasa malu, ada rasa takut, ada rasa lelah. Tetapi di balik semua itu, saya belajar satu kebenaran besar bahwa selama doa orang tua masih mengiringi langkah saya, saya tidak benar-benar gagal. Saya hanya sedang ditempa.
Dan saya yakin, suatu hari nanti, ketika saya sudah berdiri lebih kokoh, saya akan tahu, semua jalan berliku ini adalah cara Tuhan menjawab doa kedua orang tua saya, dengan menghadirkan orang-orang baik, tepat pada saat saya hampir menyerah.
Terimakasih orang orang Baik, semoga Tuhan selalu mempermudah jalan kalian
Serang, 17 Desember 2025
Aceng Murtado
(Refleksi satu tahun pasca Wisuda)









