MediaKitaNews – Fatwa haram terhadap penggunaan sound horeg yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Forum Satu Muharram (FSM) Bahtsul Masail Pondok Pesantren Besuk, Pasuruan, mendapat sorotan tajam dari pelaku usaha. Salah satu perintis sound horeg di Jawa Timur, Saiful, mengungkapkan kekecewaannya terhadap keputusan tersebut yang dinilai berpotensi menghambat kemajuan bangsa.
“Ketika negara lain sudah fokus membangun teknologi dan inovasi, kita masih berkutat pada perdebatan soal halal dan haram,” ujar Saiful, pemilik Fasko Sengok, Minggu (6/7/2025) dikutip dari Instagram @fakta.indo.
Ia menilai bahwa Indonesia semakin sulit berkembang jika hal-hal yang berkaitan dengan budaya dan kreativitas masyarakat dibatasi tanpa kajian yang menyeluruh.
Menurutnya, fatwa haram terhadap sound horeg seharusnya tidak serta-merta diberlakukan secara umum tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan budaya masyarakat. Ia mengkhawatirkan pelarangan tersebut bisa berdampak negatif terhadap industri hiburan rakyat dan ekonomi lokal yang bergantung pada layanan sound system dalam berbagai kegiatan, seperti hajatan, pasar malam, hingga perayaan adat.
“Saya harap MUI bisa mengkaji ulang fatwa ini secara mendalam, khususnya alasan syariat yang dijadikan dasar. Karena bagi banyak masyarakat, sound horeg bukan sekadar hiburan, tapi juga sumber penghidupan,” tegasnya.
Sebelumnya, Forum Satu Muharram Bahtsul Masail Pondok Pesantren Besuk menetapkan bahwa sound horeg haram digunakan menurut syariat Islam. Keputusan ini diambil dalam musyawarah para kiai dan santri dengan memperhatikan aspek sosial, budaya, dan agama.
Pengasuh Ponpes Besuk, KH Muhib Aman Aly, menjelaskan bahwa pelarangan tersebut bukan hanya karena kebisingan semata, melainkan juga karena identitas dan penggunaan sound horeg yang dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam.
“Keputusan ini tidak hanya mempertimbangkan dampak suara, tapi juga mempertimbangkan mulazimnya disebut dengan sound horeg, bukan sound system,” kata KH Muhib, Senin (30/6/2025).
Hingga kini, fatwa tersebut masih menjadi perbincangan publik, terutama di media sosial. Sebagian mendukung langkah para ulama sebagai bentuk penertiban budaya yang dinilai mulai melampaui batas, namun tak sedikit pula yang mempertanyakan relevansi fatwa tersebut terhadap dinamika kehidupan masyarakat saat ini.***