MediaKitaNews – Kesepakatan dagang “bersejarah” antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Indonesia Prabowo Subianto, yang memungkinkan produk AS masuk ke Indonesia bebas tarif namun mengenakan tarif 19% pada barang Indonesia, justru menuai gelombang kritik dari warga Amerika Serikat. Banyak pihak menilai kebijakan ini lebih merugikan konsumen AS, alih-alih menguntungkan mereka.
Dalam Video yang diungggah Instagram @fakta.indo, Kritik utama Warga AS tertuju pada mekanisme tarif. Meskipun 19% tarif dikenakan pada produk Indonesia, biaya tersebut sebenarnya dibayar oleh importir dan perusahaan AS kepada Bea Cukai AS, yang kemudian dibebankan kepada konsumen. Ini berarti, secara efektif, warga Amerika sendirilah yang harus menanggung kenaikan harga sebesar 19% untuk produk-produk Indonesia, sementara barang-barang AS menjadi lebih murah di pasar Indonesia karena pembebasan tarif.
Selain itu, klaim Presiden Trump mengenai ekspor energi senilai USD 15 miliar ke Indonesia juga dipertanyakan. Fakta menunjukkan bahwa pada tahun 2024, nilai impor energi Indonesia dari AS sudah mencapai USD 15,5 miliar, mengindikasikan bahwa ini bukan kesepakatan baru yang signifikan. Pembelian 50 pesawat Boeing oleh Indonesia, yang juga diklaim sebagai kesepakatan baru, ternyata merupakan kesepakatan lama dari era Presiden Joe Biden yang sempat tertunda.
Pakar ekonomi dan Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, berpendapat bahwa kesepakatan ini sebenarnya menguntungkan pihak Indonesia.
“Kalau dinolkan tarifnya, misalkan Boeing, tarifnya dinolkan, itu yang untung perusahaan Airline Indonesia saat mereka beli Boeing. Karena harganya jauh lebih murah daripada sebelumnya. Dan Indonesia enggak rugi, karena Indonesia enggak bisa bikin pesawat,” jelas Ronny dikutip dari Instagram @fakta.indo, Jumat (18/7/2025).
Ronny menambahkan, untuk komoditas seperti bahan bakar minyak (BBM) dan gandum yang tidak dapat diproduksi secara massal di Indonesia, impor dari AS dengan tarif nol akan sangat menguntungkan.
“Dari dulu juga kita impor gandum. Dari Ukraina, dari Rusia, sampai dari Amerika. Jadi artinya semua yang kita impor selama ini, kita impor tetap dari Amerika dengan tarif yang nol, sehingga akan lebih murah di Indonesia. Akan menguntungkan perusahaan dan konsumen Indonesia,” tambahnya.
Kesepakatan ini juga menjadi perbincangan hangat di media sosial, termasuk di akun Instagram @fakta.indo. Warganet menunjukkan beragam sudut pandang:
Akun @satria_gat secara sarkas menulis, “Hebat jg konoha pnya buzzer bule 😂.”
@yongki_bank berkomentar dengan nada bingung namun jenaka, “Di Indo netizen bilang ini buruk buat Indo. Di amrik rakyatnya bilang buruk buat amrik. Yang bener yang mana? Yaap, Mie Ayam 🤤.”
@izrojie mencoba melihat dari sudut pandang sederhana, “Logika sederhana gini aja masa pada ga paham.. Yg rugi tuh negara kita krna ga dpet pajak dri barang AS yg masuk, tapi masyarakat diuntungkan krena hrga dri produk AS akan lebih murah.. Tapi dibalik itu liat aja pemerintah kaya seolah nyari ganti nyampe skrg online shop di pajakin, nyampe mau pendapatan sosmed juga mau dipajakin.. Intinya ada ples minesnya, tapi ttep aja bagi gua negara kita kaya gada hrga dirinya.”
Sebuah saran bijak datang dari @herunovi99, “Percayalah keputusan besar seperti ini tidak cuma dipikirkan sehari dua hari, perlu melibatkan analis dan pemasehat yg ahli di bidangnya.. setiap deal pasti disepakati untuk menguntungkan kedua belah pihak.. daripada nyinyir mending fokus berkaryam.”
Sementara itu, @anang_suyanto98 menyoroti keuntungan di sektor komoditas dan suku cadang, “Tapi kalau dalam hal komoditas seperti bahan baku yg gk bisa diproduksi di Indonesia skala besar dan suku cadang ori dari as, kita memang untung karena bisa menekan harga dan biaya produksi. Sisi negatifnya hanya dibagian barang yg hanya untuk koleksi dan lifestyle karena kita bisa kebanjiran barang as.”
Perdebatan ini mencerminkan kompleksitas kesepakatan dagang internasional yang seringkali memiliki dampak berbeda di berbagai lapisan masyarakat dan sektor ekonomi.***