BeritaPENDIDIKAN

Kebenaran Islam yang Absolut: Sintesis Skeptisisme Cartesian dan Teorema Ketidaklengkapan Gödel sebagai Titik Kepastian Transendental

150
×

Kebenaran Islam yang Absolut: Sintesis Skeptisisme Cartesian dan Teorema Ketidaklengkapan Gödel sebagai Titik Kepastian Transendental

Share this article

Mediakitanews.com. Dalam sejarah pemikiran manusia, hanya sedikit tokoh yang mampu mengguncang bangunan epistemologi secara fundamental sebagaimana dilakukan René Descartes dan Kurt Gödel. Descartes, melalui skeptisisme radikalnya, menggugat seluruh fondasi kepastian manusia. Sementara itu Gödel, melalui teorema ketidaklengkapannya, menghancurkan mitos bahwa sistem rasional, bahkan matematika dapat menjadi dasar absolut bagi dirinya sendiri. Bila kedua pendekatan ini disatukan secara kritis, maka tampak sebuah pola pemikiran yang sangat kuat bahwa kebenaran tidak mungkin bersumber dari akal manusia semata, melainkan harus datang dari realitas transenden yang berada di luar keterbatasan manusia. Dalam konteks ini, Islam hadir sebagai jawaban paling koheren dan konsisten atas problem epistemik yang tidak pernah tuntas diselesaikan oleh filsafat Barat.

Descartes memulai revolusi intelektualnya dengan meragukan segala sesuatu, yaitu indera, memori, nalar, bahkan eksistensi dunia fisik. Ia tidak terjebak dalam nihilisme, tetapi menjadikan keraguan sebagai metode purifikasi untuk menemukan kebenaran yang benar-benar tak dapat digugat. Dari proses ini lahirlah pernyataan terkenal “Cogito, ergo sum”, aku berpikir, maka aku ada. Namun Descartes tidak berhenti di situ. Ia menyadari bahwa jika segala sesuatu dapat diragukan, termasuk logika manusia, maka kepastian hanya mungkin jika ada Tuhan yang Mahasempurna dan tidak menipu. Tanpa Tuhan, seluruh bangunan rasionalitas roboh: persepsi dapat menipu, logika bisa salah, dan realitas mungkin hanyalah ilusi. Dengan kata lain, Tuhan adalah jaminan epistemik agar kebenaran menjadi mungkin.

Example 300x600

Pemikiran Descartes ini menemukan resonansi mendalam dalam Islam. Al-Qur’an tidak hanya memberikan pedoman moral, tetapi menjadi fondasi epistemologis yang membebaskan manusia dari relativitas kebenaran buatan manusia. Allah disebut sebagai Al-Haqq, Sang Kebenaran Mutlak yang menegaskan bahwa kebenaran sejati tidak bergantung pada fluktuasi rasio manusia, melainkan bersumber dari Zat yang absolut.

Berabad-abad setelah Descartes, Gödel memberikan pukulan telak kepada keyakinan modern bahwa matematika adalah sistem yang sempurna dan lengkap. Dalam teorema ketidaklengkapannya, ia menyatakan bahwa dalam sistem formal yang konsisten, selalu ada pernyataan benar yang tidak dapat dibuktikan oleh sistem itu sendiri. Dengan kata lain, matematika membutuhkan rujukan eksternal untuk menjamin kebenarannya. Jika matematika, ilmu paling pasti tidak bisa membuktikan dirinya sendiri, maka manusia yang jauh lebih terbatas mustahil mampu menemukan kebenaran absolut melalui akalnya sendiri.

Sintesis antara Descartes dan Gödel menghasilkan suatu kesimpulan filosofis yang tajam: rasio manusia tidak mungkin menjadi sumber kepastian yang sepenuhnya imanen. Descartes menunjukkan bahwa akal membutuhkan Tuhan sebagai penjamin kebenaran, sementara Gödel menunjukkan bahwa akal tidak pernah lengkap tanpa otoritas eksternal. Islam menyempurnakan kesimpulan ini dengan menegaskan bahwa kebenaran absolut hanya mungkin berasal dari Allah, bukan dari manusia. Al-Qur’an kemudian hadir sebagai huda (petunjuk), bayyinat (penjelasan yang gamblang), dan furqan (pembeda antara benar dan salah). Ia bukan produk akal, tetapi cahaya yang menuntun akal agar tidak tersesat dalam keterbatasannya.

Dengan demikian, Islam menjadi titik omega kebenaran. Jika Descartes meruntuhkan ilusi kepastian indera, dan Gödel meruntuhkan ilusi kepastian logika, maka Islam memberikan penyembuhannya, kebenaran transenden yang tidak bergantung pada sistem manusia. Islam adalah “rujukan eksternal niscaya”—the necessary external reference, yang membuat seluruh struktur rasionalitas manusia menjadi mungkin. Tanpa sumber absolut itu, manusia tenggelam dalam relativitas dan ketidakpastian tanpa akhir.

Kesimpulannya, dalam perspektif filsafat dan matematika modern, kita sampai pada titik di mana kebenaran manusia tidak dapat dibuktikan oleh manusia itu sendiri, sistem rasio tidak dapat mengesahkan dirinya sendiri, dan kepastian tidak mungkin bersifat imanen. Kebenaran absolut hanya mungkin melalui transendensi. Islam, sebagai wahyu Ilahi, memenuhi seluruh prasyarat tersebut dengan elegansi intelektual dan koherensi logis yang tidak tertandingi. Maka dalam cahaya Descartes dan Gödel, kebenaran Islam bukan sekadar dapat diterima, tetapi justru merupakan keniscayaan epistemologis.

Penulis: KH. Tb. M. Imam Ibrahim bin KH. Tb. Saifuddin Abdullah Albantani
Editor: Aceng Murtado

Example 300250
Example 120x600